Psikologi sosial adalah suatu studi tentang hubungan antara manusia dan kelompok. Para ahli dalam bidang interdisipliner ini pada umumnya adalah para ahli psikologi atau sosiologi, walaupun semua ahli psikologi sosial menggunakan baik individu maupun kelompok sebagai unit analisis mereka.
Psikologi sosial sempat dianggap tidak memiliki peranan penting, tapi kini hal itu mulai berubah. Dalam psikologi modern, psikologi sosial mendapat posisi yang penting. Psikologi sosial telah memberikan pencerahan bagaimana pikiran manusia berfungsi dan memperkaya jiwa dari masyarakat kita. Melalui berbagai penelitian laboratorium dan lapangan yang dilakukan secara sistematis, para psikolog sosial telah menunjukkan bahwa untuk dapat memahami perilaku manusia, kita harus mengenali bagaimana peranan situasi, permasalahan, dan budaya.
Walaupun terdapat banyak kesamaan, para ahli riset dalam bidang psikologi dan sosiologi cenderung memiliki perbedaan dalam hal tujuan, pendekatan, metode dan terminologi mereka. Mereka juga lebih menyukai jurnal akademik dan masyarakat profesional yang berbeda. Periode kolaborasi yang paling utama antara para ahli sosiologi dan psikologi berlangsung pada tahun-tahun tak lama setelah Perang Dunia II. Walaupun ada peningkatan dalam hal isolasi dan spesialisasi dalam beberapa tahun terakhir, hingga tingkat tertentu masih terdapat tumpang tindih dan pengaruh di antara kedua disiplin ilmu tersebut.Di dalam Perspective on Social Psychology terdapat tokoh :
- Kurt Lewin
- Solomon Asch
- Erving Goffman
- Robert Zajonc
- Phillip Zimbardo
1. Kurt Lewin
Teori Medan (Field Theory)
Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial
melalui pendekatan konsep "medan"/"field" atau "ruang kehidupan" - life space. Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara
tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual
(instink dan kebiasaan), bebas - lepas dari pengaruh situasi di mana individu
melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut.
Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor
situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah
itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu
merupakan fungsi dari "ruang kehidupan"- individu dan lingkungan
dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya.
Artinya "ruang kehidupan" merupakan juga merupakan determinan bagi
tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan "ruang
kehidupan" sebagai seluruh peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang)
yang berpengaruh pada perilaku dalam satu situasi tertentu.
Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan
dengan konteks - lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya,
teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh
pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep
"gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi
bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama lainnya.
Misalnya, kalau kita melihat bangunan,
kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian
pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu
itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut berada.
2. Solomon Asch
Konformitas adalah Suatu jenis pengaruh sosial di mana individu
mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan
norma sosial yang ada.
Konformitas dan Penelitian Solomon Asch
Penelitian
Solomon Asch pada tahun 1951 dan 1955 disebut sebagai salah satu penelitian
klasik dalam psikologi sosial. Partisipan dalam penelitian ini diminta untuk
mengindikasikan yang mana dari ketiga garis pembanding yang sama persis dengan
sebuah garis standar. Beberapa orang dari partisipan adalah asisten peneliti
yang tidak diketahui oleh partisipan lainnya. Pada saat-saat yang disebut
sebagai critical trials, para asisten peneliti tersebut dengan sengaja
menjawa salah pertanyaan yang diajukan. Mereka secara bulat memilih garis yang
salah sebagai garis yang sesuai dengan garis standar. Lebih dari itu, mereka
menyatakan jawaban salah tersebut terlebih dahulu sebelum partisipan yang lain
memberikan jawaban. Hasilnya adalah bahwa ternyata partisipan yang lain
kemudian terpengaruh dan memberikan jawaban yang sama dengan yang dikatakan
oleh para asisten peneliti tersebut. Pada titik ini terjadilah apa yang disebut
dengan konformitas. Salah satu perkembangan menarik dari teori konformitas
berdasarkan penelitian-penelitian Solomon Asch berikutnya yang bisa
dikedepankan adalah bahwa harus dibedakan antara konformitas publik (public conformity)
dengan penerimaan pribadi (private acceptance). Banyak orang
melakukan perilaku-perilaku tertentu yang sesuai dengan norma sosial atau norma
kelompok walaupun hal tersebut tidak mereka yakini sebagai sesuatu kebenaran
untuk dilakukan.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konformitas
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi konformitas. Faktor- faktor tersebut adalah:
3. Erving Goffman
Impression Management
Interaksionisme simbolik pada hakikatnya (lebih) merupakan bagian dari psikologi sosial yang menyoroti interaksi antar-individu dengan menggunakan simbol-simbol. Konsep interaksionisme simbolik Erving Goffman juga menyoroti masalah-masalah yang berhubungan dengan interaksi antara orang-orang yang juga melibatkan simbol-simbol dan penafsiran-penafsiran di mana peranan antara the self dan the other mendapat porsi perhatian yang sama dalam koteks interaksi dimaksud. Interaksionisme simbolik Erving Goffman memang selalu mengacu kepada konsep-konsep 'impression management', role distance, dan secondary adjustment di mana ketiganya bertumpu pada konsep dan peranan the self dan the other tadi. Selain itu, Goffman juga menyoroti masalah face-to-face interaction, yaitu interaksi atau hubungan tatap muka yang menjadi dasar pendekatan mikrososiologi dalam analisis sosiologisnya.
Prinsip dari familiarity dicerminkan dalam peribahasa Indonesia, “kalau tak kenal, maka tak sayang”. Ketika kita sering berjumpa dengan seseorang dan tidak ada hal yang pentik untuk dibicarakan maka kita akan menyukainya. Robert B. Zajonc dalam Jalaluddin Rakhmat (2011) memperlihatkan foto-foto wajah dalam subjek-subjek eksperimennya. Ia menemukan makin seriang subjek melihat wajah tertentu maka ia akan menyukainnya. Dari penelitian tersebut kemudian melahirkan sebuah teori “more exposure” (terpaan saja). Hipotesis itu dipakai sebagai landasan ilmiah akan pentingnya repetisi pesan dalam mempengaruhi pendapat dan sikap
5. Phillip Zimbardo
Conformity
Percobaan penjara Stanford
adalah sebuah percobaan yang dilakukan oleh Philip Zimbardo di Universitas Stanford pada 1971 untuk mempelajari perilaku orang-orang biasa yang ditempatkan dalam penjara
buatan. Zimbardo memcoba mencari tahu apa yang terjadi apabila orang-orang normal
ditempatkan dalam situasi yang memungkinkan mereka untuk berbuat kejam. Subjek
dari percobaan ini adalah 24 orang mahasiswa yang tidak memiliki catatan
kriminal dan sehat secara psikologis. Dalam penjelasan yang diberikannya kepada
para mahasiswa yang melamar menjadi sukarelawan, Zimbardo menyatakan bahwa
masalah yang ingin dipelajarinya adalah terciptanya situasi psikologis melalui
manipulasi lingkungan fisik serta bagaimana suatu label yang dikaitkan pada
seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang tersebut.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi konformitas. Faktor- faktor tersebut adalah:
-
Pengaruh dari orang-orang yang disukai
Orang-orang yang disukai akan memberikan pengaruh lebih besar. Perkataan dan perilaku mereka cenderung akan diikuti atau diamini oleh orang lain yang menyukai dan dekat dengan mereka.
-
Kekompakan kelompok
Kekompakan kelompok sering disebut sebagai kohesivitas. Semakin kohesif suatu kelompok maka akan semakin kuat pengaruhnya dalam membentuk pola pikir dan perilaku anggota kelompoknya.
-
Ukuran kelompok dan tekanan sosial
Konformitas akan meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok. Semakin besar kelompok tersebut maka akan semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta, walaupun mungkin kita akan menerapkan sesuatu yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan.
-
Norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif
Norma deskripti adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma ini akan memengaruhi tingkah laku kita dengan cara memberi tahu kita mengenai apa yang umumnya dianggap efektif atau bersifat adaptif dari situasi tertentu tersebut. Sementara itu, norma injungtif akan memengaruhi kita dalam menentapkan apa yang harusnya dilakukan dan tingkah laku apa yang diterima dan tidak diterima pada situasi tertentu.
Alasan Mengapa Individu Memilih untuk Melakukan
Konformitas
Ada beberapa alasan yang dapat dikedepankan untuk memahami mengapa individu melakukan konformitas. Alasan-alasan tersebut adalah:
Ada dua alasan mengapa seseorang bisa saja tidak melakukan konformitas. Alasan tersebut adalah:
Ada beberapa alasan yang dapat dikedepankan untuk memahami mengapa individu melakukan konformitas. Alasan-alasan tersebut adalah:
- Keinginan untuk disukai
Sebagai akibat internalisasi dan proses belajar di masa kecil maka banyak individu melakukan konformitas untuk membantunya mendapatkan persetujuan dengan banyak orang. Persetujuan diperlukan agar individu mendapatkan pujian. Oleh karena pada dasarnya banyak orang senang akan pujian maka banyak orang berusaha untuk konform dengan keadaan. - Rasa takut akan penolakan
Konformitas penting dilakukan agar individu mendapatkan penerimaan dari kelompok atau lingkungan tertentu. Jika individu memiliki pandangan dan perilaku yang berbeda maka dirinya akan dianggap bukan termasuk dari anggota kelompok dan lingkungan tersebut. - Keinginan untuk merasa benar
Banyak keadaan menyebabkan individu berada dalam posisi yang dilematis karena tidak mampu mengambil keputusan. Jika ada orang lain dalam kelompok atau kelompok ternyata mampu mengambil keputusan yang dirasa benar maka dirinya akan ikut serta agar dianggap benar. - Konsekuensi kognitif
Banyak individu berpikir melakukan konformitas adalah konsekuensi kognitif akan keanggotaan mereka terhadap kelompok dan lingkungan di mana mereka berada.
Ada dua alasan mengapa seseorang bisa saja tidak melakukan konformitas. Alasan tersebut adalah:
- Deindividuasi
Deindividuasi terjadi ketika kita ingin dibedakan dari orang lain. Individu akan menolak konform karena tidak ingin dianggap sama dengan yang lain. - Merasa menjadi orang bebas
Individu juga menolak untuk konform karena dirinya memang tidak ingin untuk konform. Menurutnya, tidak ada hal yang bisa memaksa dirinya untuk mengikuti norma sosial yang ada.
3. Erving Goffman
Impression Management
Interaksionisme simbolik pada hakikatnya (lebih) merupakan bagian dari psikologi sosial yang menyoroti interaksi antar-individu dengan menggunakan simbol-simbol. Konsep interaksionisme simbolik Erving Goffman juga menyoroti masalah-masalah yang berhubungan dengan interaksi antara orang-orang yang juga melibatkan simbol-simbol dan penafsiran-penafsiran di mana peranan antara the self dan the other mendapat porsi perhatian yang sama dalam koteks interaksi dimaksud. Interaksionisme simbolik Erving Goffman memang selalu mengacu kepada konsep-konsep 'impression management', role distance, dan secondary adjustment di mana ketiganya bertumpu pada konsep dan peranan the self dan the other tadi. Selain itu, Goffman juga menyoroti masalah face-to-face interaction, yaitu interaksi atau hubungan tatap muka yang menjadi dasar pendekatan mikrososiologi dalam analisis sosiologisnya.
Inti dari ajaran Goffman adalah apa yang disebut dengan dramaturgy. Dramaturgy yang dimaksud Goffman adalah situasi dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi yang diberikan Goffman untuk menggambarkan orang-orang dan interaksi yang dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan hubungannya dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan. Seperti layaknya sebuah panggung maka ada bagian yang disebut frontstage (panggung bagian depan) dan backstage (panggung bagian belakang) di mana keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Betapa penting peranan dan fungsi backstage terhadap keberhasilan penampilan di frontstage, kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada di luar perhitungan benar-benar bertumpu pada sumber daya-sumber daya yang ada pada kedua bagian tersebut. Di samping itu, konsep dramaturgy Goffman juga dipakai oleh beberapa ahli sosiologi seperti Kennen dan Collins dalam melakukan studi yang menyangkut interaksi antara orang-orang yang menjadi kajian mereka.
Interaction Order adalah artikel 'penutup' dari seluruh karya-karya Goffman sebelum ia wafat tahun 1982. Dalam tulisannya ini, Goffman secara konsisten tetap menyoroti masalah interaksi tatap muka yang ordonya dimulai dari skala yang terkecil atau terendah menuju skala terbesar atau tertinggi, yaitu yang terdiri dari persons, contact, encounters, platform performances, dan celebrations. Meskipun hampir sebagian besar analisis Goffman tidak menyertakan konsep penting interaksionisme simbolik, yaitu self interaction, namun bagi Goffman, seorang aktor yang berada 'di atas panggung' itu harus mampu menafsirkan, memetakan, mengevaluasi, dan mengambil tindakan sehingga atas dasar kemampuannya itu manusia dikategorikan sebagai makhluk yang aktif. Bagi Goffman, sebagai makhluk yang aktif, manusia itu justru harus mampu untuk memanipulasi situasi yang dihadapinya. Hal inilah yang mendasari pandang Goffman bahwa seorang sosiolog harus mampu melakukan analisis secara mandiri atas kondisi-kondisi sosial yang dihadapinya.
4. Robert Zajonc
5. Phillip Zimbardo
Conformity
Percobaan ini dilakukan di sebuah penjara
buatan di Fakultas Psikologi di Universitas Stanford. Penjara tersebut dibuat menyerupai penjara sungguhan, dengan sel penjara yang gelap
tanpa adanya jendela dan tanpa adanya jam sehingga para subjek percobaan tidak
mengetahui waktu yang telah berlalu. Selanjutnya seluruh percobaan ini
dilakukan persis seperti kejadian nyata. Para sukarelawan yang
telah ditetapkan menjadi "tahanan" didatangi kerumahnya dengan mobil polisi sungguhan,
ditangkap, digeledah dan diborgol didepan umum. Sesampainya di penjara, mereka
digeledah lagi dengan menelanjangi masing-masing tahanan kemudian dimasukkan ke
dalam sel penjara dengan ditutup matanya dan dibiarkan beberapa saat. Setelah
itu mereka dirantai kakinya dan dipakaikan baju penjara dengan kode
masing-masing di punggung. Hal tersebut dilakukan untuk mereplika perlakuan,
pelecehan dan penghinaan yang sama yang didapat tahanan sungguhan.
Pada awalnya, percobaan ini direncanakan untuk
berlangsung selama 14 hari namun pada hari yang keenam percobaan ini terpaksa
harus diberhentikan karena perilaku para "penjaga" penjara yang
semakin kejam dan para "tahanan" yang mengalami tekanan secara
emosional.
Hanya dalam waktu satu hari,
subjek percobaan menjiwai peran masing-masing sebagai penjaga dan tahanan
seolah-olah itu bukan eksperimen dan mereka berada dalam penjara asli. Di hari kedua, beberapa tahanan memohon untuk
dikeluarkan dari tempat tersebut bahkan dalam waktu lima hari terdapat sepuluh
orang tahanan yang dibebaskan. Percobaan ini dihentikan setelah mendapatkan
protes dari psikolog Universitas California, Berkeley bernama Christina Maslach yang kemudian menjadi istri Dr. Zimbardo. Selama eksperimen berlangsung, tahanan dan
penjaga penjara menjalani dengan sungguh-sungguh peran yang diberikan bagi
mereka sekalipun mereka menyadari kalau ini hanyalah percobaan belaka. Melalui
percobaan ini, Zimbardo menyimpulkan bahwa orang-orang biasa, yang sehat secara
psikologis, dapat melakukan kejahatan apabila diperhadapkan di situasi yang
memungkinkan mereka untuk melakukannya.
No comments:
Post a Comment